Monday, September 26, 2011

Pangabatan Island. The lost paradise in Maumere.

Pagi yang cerah, laut yang teduh hmm..cuaca yang cocok untuk melaut dan berjibaku bersama indahnya dunia bawah laut perairan Maumere.

Trip kali ini kami berencana untuk pergi ke Pulau Pangabatan (lagi). Yup, kami sebenernya sudah kesekian kalinya pergi ke sana. Tapi karena keindahan pulau dan alam bawah lautnya, membuat kami tidak bosan untuk berkunjung ke sana.

Untuk pergi ke sana kami harus menyeberang dulu dengan menggunakan kapal kayu sekitar 40 menit. Tetapi semua itu worth it ketika kita sudah sampai di tujuan. Pulau kecil dengan penghuni hanya beberapa kepala keluarga, berpasir putih, laut landai, garis pantai yang panjang, angin sepoi meniup sayu pohon-pohon rindang di sisi pulau. Hmmm..this is the real paradise!

Oke, sekarang saya akan share bagaimana cara untuk pergi ke sana dan apa saja yang kita dapat di sana.

Apabila ke sana saya sarankan untuk berangkat dari Maumere pagi hari. Karena dengan begitu kita mempunyai lebih banyak waktu untuk menikmati keindahan alam di sana tanpa tergesa-gesa. Mengingat di sana itu adalah pulau perairan lepas, maka akan lebih baik jika kita sudah menyiapkan bekal terlebih dahulu, berupa nasi bungkus untuk makan siang, air minum, dan cemilan atau buah-buahan.

Kami berangkat dari kota Maumere pukul 07.00 WIB dengan menggunakan mobil pinjaman dari teman menuju kampung nelayan, Nangahale (sekitar 1 jam). Di sanalah kami bisa menyewa kapal kayu untuk menyeberang ke pulau Pangabatan (Sewa kapal kayu kapasitas 15 orang + 2 ABK sebesar 350K - 500K). Kemudian kami menyeberang ke Pulau Pangabatan sekitar 40 menit. Bagi yang pertama kali pergi ke sini, kita bisa minta tolong kepada pemilik kapal untuk memberitahu spot-spot snorkeling yang bagus untuk dilihat. Tapi karena kami masih penasaran dan masih mempunyai banyak waktu, kamipun mencari spot lainnya.

Setelah lelah snorkeling, tepat jam 12 siang kami langsung merapat ke Pulau Pangabatan untuk beristirahat sekalian makan siang. Di bawah teduhnya pohon-pohon yang rindang kami leyeh-leyeh sampai tertidur 2 jam. hehehe...

Saat bangun dari tidur siang di pulau, kami dikejutkan oleh air laut yang surut jauh sekali. Sampai-sampai daratan yang ada di tengah lautpun terlihat. Masyarakat setempat menyebutnya Pulau Gosong. Ini dikarenakan apabila kita berada di daratan tersebut terlalu lama, maka kita akan gosong bahkan kulit bisa terbakar matahari bahkan mengelupas.

Beruntung sekali karena justru pada saat surutlah keindahan alam Pulau Pangabatan benar-benar terlihat. Tanpa basa-basi kami langsung hunting foto rame-rame hahaha...

Puas dengan hasil yang didapat, kemudian kami pulang ke Nangahale sekitar pukul 4 sore. Sesampainya di kampung Nangahale, kami disambut oleh para anak pantai. Seru dan sangat menyenangkan, bukan?

Itu mungkin sekelumit perjalanan saya yang bisa saya bagi dengan kalian. Kalau ada yang mau berkunjung silakan saja hehe..






















Sunday, August 21, 2011

MERAH dalam PUTIH nan suci

Tak terasa sudah 4 kali saya merasakan Ramadhan di Maumere ini. Salah satu kota di timur indonesia yang sedikit banyak telah mengajari saya, bagaimana kehidupan jauh dari keluarga. Meskipun mayoritas penduduk Maumere adalah non muslim, tetapi bulan Ramadhan di sini berjalan seperti layaknya bulan Ramadhan di kota-kota di pulau jawa pada umumnya. Mereka, penduduk non muslim, tetap menjaga dan menghormati para penduduk muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Mereka semua hidup berdampingan satu sama lain.

Ramadhan kali ini tidak terlalu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kami umat muslim di sini melaksanakan sahur, ibadah puasa, dan sholat tarawih seperti biasa. Yang membedakan dengan tahun-tahun sebelumnya adalah Ramadhan kali ini bertepatan dengan bulan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gegap gempita terdengar dari seluruh penjuru kota. Bendera merah putih berkibar dengan kokohnya. Semangat perjuangan kembali dikobarkan melalui berbagai kegiatan, antara lain upacara bendera, lomba baris berbaris, karnaval, sampai perlombaan-perlombaan yang diikuti oleh seluruh masyarakat Maumere pada umumnya.

Bagi saya sendiri, Ramadhan kali ini sedikit terasa lebih greget. Kenapa? Karena terdapat dua hal yang tampak berbeda dan dilakukan di waktu yang sama untuk menuju satu tujuan yang sama, yaitu kemenangan. Merdeka, baik secara fisik dan bathin. Merdeka surgawi dan duniawi. Ya entahlah. Kalau berbicara masalah surgawi, saya memang belum termasuk dalam kelasnya. Tetapi pada intinya untuk mencapai kemerdekaan, kita harus memulainya dari diri kita sendiri. Introspeksi terhadap diri untuk lebih disiplin, dewasa, dan konsisten. 3 hal yang menurut saya sangat diperlukan untuk menjadi orang bijaksana yang bertanggung jawab, yang patut menjadi teladan untuk orang yang ada di sekitarnya.

Sunday, August 14, 2011

GEMULAI TEGAS TUJUHBELASAN

Derap langkah seirama terdengar di siang yang terik itu. Bunyi peluit bersahutan diiringi aba-aba para pemimpin barisan menambah riuh suasana. Warna merah dan putih mendominasi.

Yup, Agustus. Bulan kemerdekaan Indonesia telah tiba. Gema merdeka berkumandang dari segala penjuru pulau negara kepulauan, Indonesia. Besar kecil, tua muda, semua ikut serta merayakannya. Begitu juga di sini, Maumere. Salah satu kebupaten di Nusa Tenggara Timur, di sisi timur Indonesia.

Banyak acara dihelat di kota ini. Antara lain lomba baris berbaris yang diikuti oleh seluruh kelompok masyarakat di Maumere. Mulai dari instansi, sekolah, yayasan, sampai kelompok masyarakat lainnya. Dalam perlombaan ini para peserta dituntut untuk kompak, tegas, dan selaras. Rute telah ditentukan oleh panitia.

Tak henti-hentinya sorak sorai penonton, teriakan penyemangat, riuh tepuk tangan, bahkan gurauan ringan antar penonton ikut meramaikan acara tersebut. Dan pada saat acara berlangsung, perhatian kami tertuju ke salah satu peserta yang ikut dalam perlombaan itu. Derap langkah ‘gagah-jelita’ dan aba-aba ‘tegas-gemulai’ mengundang tawa riuh penonton. Mereka adalah kelompok barisan PERWAKAS (Persatuan Waria Kabupaten Sikka, pen). Tak mau kalah dengan kelompok barisan peserta lain, dengan dandanan hits mulai dari make up, accesoris, tatanan rambut, sampai dengan busana merah putih yang selaras menunjukkan kekompakan barisan mereka. Keseriusan tampak di wajah mereka. Yang menandakan bahwa mereka bukan hanya sekedar peserta penggembira yang asal-asalan di suatu acara seperti yang sering kita jumpai pada umumnya.

Terlepas mengenai masalah transgender dan segala macam tetek bengeknya, hal ini membuat saya sempat berpikir, mereka yang mungkin hanya “komunitas kecil” di masyarakat saja berani menunjukkan keseriusan dan komitmen terhadap kecintaan mereka akan NKRI (ya walaupun cuma sekedar baris berbaris). Lalu apa kabar dengan “para penguasa” yang selama ini terkesan hanya sibuk dengan tingkah dan kepentingan mereka belaka? Semoga mereka tidak kalah dengan para “kominutas kecil” ini. Semoga mereka serius dan berani berkomitmen di depan mata Sang Garuda dalam mempertanggungjawabkan amanat rakyat yang mereka emban.


Tuesday, June 28, 2011

Kelenteng Jin De Yuan, Petak Sembilan, Jakarta

Tepatnya di bulan Februari 2011, saya pulang ke pulau Jawa dan main-main ke Jakarta. Awalnya saya hanya diberitahu teman mengenai keunikan daerah Petak Sembilan. Di sana kental dengan budaya tiong hoa. Dari makanan, barang dagangan yang dijual, rumah-rumah kuno, dan kelenteng. Hmmm..kedengarannya sangat menarik, melihat sisi lain dari kota Jakarta.

Petak Sembilan terletak di daerah Glodog. Selepas makan siang di Gang Kelinci, saya bersama Tantah dan Sisir naik bajaj ke Petak Sembilan. Karena bajaj tidak diperbolehkan melintas di jalan protokol glodog, jadi berputar-putarlah kami bertiga naik bajaj. Keluar masuk gang-gang sempit, melewati polisi tidur yang yaa..lumayan banyaklah, kemudian berpapasan dengan kendaraan lain di jalan sempit. Benar-benar perjalanan yang sangat panjang dan berkesan. Setelah berputar-putar kami diturunkan di Petak Sembilan tepatnya di depan Kelenteng Jin De Yuan.

Warna merah mendominasi. Hilir mudik orang-orang yang sedang bersembahyang, membuat tempat itu tampak sangat ramai. Saat masuk ke Kelenteng tersebut kami disambut oleh petugas kelenteng, "Nggak apa-apa mas, masuk aja! Boleh untuk umum kok."

Bagi saya orang jawa tulen pemandangan di dalam kelenteng membuat saya terbengong-bengong. Banyak sekali lilin-lilin besar, patung-patung budha, dupa, dan kepul asap yang tebal. Langsung saja saya main jeprat-jepret sampai ke bagian dalam kelenteng.

Puas mengambil gambar di dalam kelenteng, kami menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sepanjang gang Petak Sembilan. Wah, banyak toko-toko yang menjual alat-alat sembahyang. Mirip sekali seperti di film-film Cina di TV. Ada uang kertas, mobil kertas, dan lilin-lilin dengan berbagai macam ukuran.

Tak lama kemudian kami mencium aroma masakan yang khas, yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. WOW! Ternyata bebek peking, jeroan babi sudah bergelantungan di sepanjang gang. Ada juga pi-oh atau daging penyu, yang dimasak mirip siomay. Kemudian permen susu dengan berbagai macam bentuk dan merk. Wah, perjalanan kali itu memang benar-benar menarik.







Ende, Kota Pengasingan Bung Karno

DI KOTA INI KUTEMUKAN
LIMA BUTIR MUTIARA,
DI BAWAH POHON SUKUN INI PULA
KURENUNGKAN NILAI-NILAI LUHUR
PANCASILA


Ende. Terletak di jantung pulau Flores. Yang merupakan kota tua dan kota pendidikan di provinsi NTT. Di sini pula Bung Karno, sang Proklamator Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah diasingkan oleh Portugis.

Masih terawat dan tertata rapi rumah bekas pengasingan Bung Karno di kabupaten Ende. Meskipun terdapat beberapa bagian dari rumah pengasingan itu yang mulai terlihat rusak. Entah kenapa, aura kegigihan Bung Karno masih tetap terasa ketika kami berada di depan rumah itu. Sayang, jam berkunjung telah usai saat kami sampai. Sedikit kecewa memang, tapi tak apa. Kami masih bisa mengabadikan gambar rumah pengasingan itu dari luar.

Selepas dari sana kami menuju ke Taman Proklamasi untuk melihat pohon sukun cabang lima. Yang merupakan tempat Bung Karno merenung hingga tercetus lima butir Pancasila sebagai dasar NKRI. Di taman itu juga dibangun monumen Bung Karno, sebagai lambang bahwa Bung Karno pernah berada di situ.




Monday, June 27, 2011

Kampung Adat Bena

Sesuai petunjuk pada papan nama di sisi jalan, kami pun berbelok menuju jalan kecil. Pohon kopi di kanan-kiri jalan mulai menyambut hangat. Begitu teduh dan rimbun. Beberapa menit kemudian terlihat hamparan tanah tinggi dengan jajaran rumah kayu beratapkan daun rumbia di sisi-sisinya.

Kampung adat Bena, terletak sekitar 70 KM dari Kabupaten Bajawa. Kampung adat tua yang masih dijaga keasliannya. Jajaran rumah yang tertata rapi memanjakan mata para wisatawan yang datang berkunjung ke sana. Di pelataran tampak beberapa kubur batu, dolmen, dan batu-batu tua yang disusun rapi menyerupai sebuah komplek yang dahulu dijadikan pusat pemberkatan upacara adat penduduk setempat. Tidak hanya itu, pelataran di tengah perkampungan itu dibuat berundak. Dan di puncaknya terdapat pohon besar yang begitu rindang. Dari situ kita dapat melihat ke segala penjuru pegunungan dan lembah yang ada di sekitarnya.

Seiring waktu berjalan, puncak tanah tersebut dibuat sebuah gua maria yang merupakan tempat sembahyang penduduk setempat. Kemudian di belakangnya sengaja dibangun gazebo sebagai tempat istirahat para wisatawan yang sedang berkunjung ke Kampung adat Bena.

Selain itu kampung adat Bena juga mempunyai kerajinan khas berupa kain songket. Yang menjadi ciri khas kain songket Bena jika dibandingkan dengan kain songket flores lainnya adalah warnanya yang lebih cerah dan colorful.

Luar biasa bukan? Maka dari itu kita sebagai generasi muda harus ikut menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia sebagai warisan nenek moyang. Sehingga adat istiadat tersebut tidak cepat punah dan tetap dapat dinikmati anak cucu kita di masa yang akan datang.