Jalan-jalan gratis, itu yang pertama kali terlintas dalam pikiran saya pada saat diberi tugas untuk mengikuti acara kantor di Labuan Bajo. Meskipun masih sedikit sangat capek dan sedikit jetleg atau semacamnya. Surat tugas itu diberikan sehari setelah saya sampai di Maumere. Dan ternyata perjalanan akan ditempuh melalui darat. Waww..mengingat keadaan jalan lintas kota yang ada di Pulau Flores ini sangat berliku, naik turun gunung. Hmm..ya sudahlah dinikmati saja, kalau tidak sekarang kapan lagi, pikir saya. Hehehe...
Kami berangkat dari Maumere tepat pukul 7 pagi. Dengan 2 mobil, yang diisi 4 orang per mobil, kita melaju dengan santai. Sebagai paling bujang di antara rombongan, saya menjadi sopir tandem selama perjalanan. Dibawa senang saja, sambil menikmati alam flores yang masih alami. Dengan santai kami melewati kota demi kota, hutan demi hutan, bukit demi bukit. Setelah kira-kira 12 jam perjalanan, kami pun memutuskan untuk bermalam di kabupaten Ruteng selama semalam. Beruntung di sana ada teman yang bisa ditebengi untuk bermalam. Sambil menikmati suasana malam yang dingin mencekam di kota Ruteng, kami ngobrol ngalor-ngidul gak karuan. Dan anehnya saya malah gak bisa tidur sampe pagi, padahal paginya kita harus melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. Memang kalau badan kita terlalu capek, malah tidur itu susahnya minta ampun.
Minggu pagi di Ruteng. Masih dingin. Sekali. Penyakit sinus saya pun mulai kambuh. Whoosaahh.. Kemudian tak lama kemudian kami berangkat ke Labuan Bajo. Ruteng – Labuan Bajo ditempuh selama 3 – 4 jam, dengan medan yang sedikit lebih rumit. Sepanjang jalan tak berhenti saya berdecak kagum dengan pemandangannya, begitu hijau hamparan sawah, sabana, dan stepa. Tak terasa 4 jam kemudian kami sampai di Labuan Bajo.
Selama beberapa hari di sana kami sempatkan untuk berkunjung ke beberapa tempat, meskipun agak ribet dengan jadwal kerjaan yang ada. Pertama kami mencoba menjelajahi jalanan kota yang ada di sana. Panas angin pantai dan semerbak aroma laut benar-benar menggoda iman para wisatawan.
Pertama yang kami pergi ke Gua Batu Cermin. Letaknya tidak jauh dari pusat kota. Sesampainya di Gerbang kami berhenti untuk membayar retribusi sebesar Rp. 10.000/kepala dan mengisi buku kunjungan. Di situ kami dibekali lampu senter per orang dan seorang Pemandu. Gua Batu Cermin dahulunya adalah batu karang yang ada di dasar laut. Jadi stalaktit dan stalakmit yang ada di gua tersebut selain karena tetesan air juga dikarenakan arus dasar air laut yang sangat kuat. Gua ini mempunyai kedalaman sekitar 200 meter. Jalan menuju gua ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak henti-hentinya kami berdecak kagum akan keindahan dari gua tersebut yang terpahat secara alami. Memasuki mulut gua, kami mulai berhati-hati dan menyalakan lampu senter, karena sangat gelap dan belum ada penerangan sama sekali. Tidak seperti di Gua Maharani yang ada di Pulau Jawa, yang sudah diberi penerangan dengan tata lampu yang eksotis. Menurut saya, seharusnya dengan Rp 10.000/kepala itu sudah bisa memberikan penerangan dan perawatan yang layak. Konon Gua tersebut diberi nama Batu Cermin, karena pada jam tertentu terutama saat siang hari sinar matahari masuk melalui celah-celah di atas gua dan memantulkan warna hijau pada dinding gua. Warna hijau mirp seperti cermin. Dalam gua tersebut juga terdapat fosil kura-kura, fosil ikan, dan tetesan air yang membentuk patung bunda maria.
Hari berikutnya kami pergi ke pulau Rinca. Salah satu pulau tempat Komodo berada. Kami berangkat dari Labuan Bajo agak kesiangan sekitar pukul 10.00 WITA. Untuk pergi ke pulau Rinca kita bisa menyewa kapal motor, harganya bervariasi tergantung kapasitas kapal motor tersebut. Harganya antara 1,2 juta sampai 2 juta rupiah per kapal dengan kapasitas 15-30 orang. Cukup murah bukan?! Perjalanan antara Pelabuhan Labuan Bajo-pulau Rinca ditempuh sekitar 2 jam dengan kecepatan kapal motor sekitar 15 km/jam. Tapi jangan kuatir kapal motor cukup lega, jadi kita bisa tiduran di deck kapal, toilet dalam dan bersih, alat snorkeling bagi yang tidak bawa, selain itu juga disediakan kopi, teh, gula pasir, dan air panas.
Setelah 2 jam, akhirnya kami sampai di Pulau Rinca. Dan langsung disambut oleh seekor Komodo yang sedang mencari mangsa di semak-semak pohon bakau. Di Pulau Rinca kami dipandu oleh seorang pemandu. Sebelum berangkat rombongan kami pun dihitung terlebih dahulu, kebayang nanti pas selesai tour ternyata ada anggota rombongan yang tiba-tiba hilang, agak horor juga. Anyway, semua itu kan juga demi keselamatan kita sebagai pengunjung. Mengingat komodo di sana dilepas di alam terbuka. Pada saat akan memulai tour di Rinca, kami sudah menjumpai beberapa Komodo. Yang ternyata lebih suka berkumpul di bawah dapur para penjaga. Hehehe...karena sudah ketemu komodo saat akan berangkat tour, jadi sang pemandu tidak menawarkan apakah kami akan menempuh jalur panjang atau jalur pendek lagi, tapi langsung saja mengajak kami menepuh jalur super pendek. Lagipula saat itu hari sudah terik sekali dan menjelang sore.
Selesai tour di Pulau Rinca, kami berencana snorkeling dulu. Spot yang bagus sih di Pulau Bidadari di dekat Labuan Bajo. Tapi karena waktunya tidak cukup, kami pun memutuskan snorkeling di Pulau Kelor, yang tidak jauh dari Pulau Rinca. Pulau Kelor adalah pulau kecil di sekitar pulau Rinca, yang biasa digunakan para backpacker asing untuk camping. Dan anehnya di Pulau sekecil itu dan tak berpenghuni, ada seekor kucing di pinggir pantai. Setelah kapal kami menambat di pulau Kelor, tanpa basa-basi kami pun langsung lompat ke laut untuk menikmati pemandangan underwater di sana. Pertama agak kecewa, karena sebagian terumbu karang sudah rusak karena bom dan sampah yang dibuang sembarangan. Tapi semakin ke arah laut pamandangannya tampak semakin bagus. Speechless, mungkin itu ungkapan yang paling pas karena saking bagusnya, terumbu karangnya, ikan-ikan nya, dan makhluk hidup bawah laut lainnya. Tak terasa 1 jam sudah kami snorkeling di pulau Kelor. Dan kami pun langsung kembali ke Labuan Bajo untuk beristirahat, karena esok harinya kami berencana kembali ke Maumere.
Esok harinya, setelah packing dan sarapan pagi, kami langsung check out dari hotel dan menuju Maumere. Perjalanan kami lewati dengan santai. Menikmati pemandangan dan berhenti sejenak di setiap kota. Sesampainya di kota Bajawa kami memutuskan untuk bermalam, karena esok paginya kami berencana mampir ke pemandian air panas Soa serta Kampung Adat Bena.
Bajawa adalah kota yang dingin, karena berada di daerah pegunungan. Banyak dibangun villa dan penginapan di sana. cukup kedinginan selama berada di sana, tapi untung di hotel kami ada air panasnya. Tak lama kemudian kami bertolak ke pemandian air panas Soa. Bajawa – Soa ditempuh sekitar 30 menit. Memasuki pintu gerbang, saya membayangkan tempat pemandian yang kotor, ramai, dan bau belerang dimana-mana. Tapi ternyata itu semua salah. Pemandiannya masih alami, ya meskipun sudah di tambah beberapa bangunan, antara lain kantin, tempat ganti baju, dan kolam pemandian, tapi semua itu tidak mengurangi kealamian yang ada. Dan herannya bau belerangnya tidak terlalu pekat. Tanpa basa-basi langsung saja saya berkeliling untuk melihat-lihat yang ada di sana. Kolam, sungai, air terjunnya, semuanya masih alami. Karena masih pagi dan sudah terlanjur mandi saya pun malas untuk berendam di sana. Jadi ya cuma main air dan melihat-lihat pemandangan yang ada di sana saja.
Setelah puas di pemandian air panas Soa, kami langsung menuju Kampung Adat Bena. Soa – Bena ditemouh sekitar 30 menit. Kampung adat Bena, berada di lereng gunung. Di kampung tersebut terdapat beberapa rumah berderet yang tersusun rapi. Semua rumah itu beratapkan daun rumbia/alang-alang. Di tengah kampung terdapat beberapa kubur batu, yang merupakan makam leluhur orang Bena. Penguburannya dilakukan bertumpuk-tumpuk. Satu batu vertikal pertanda satu mayat. Makin tinggi batu tersebut, maka makin tinggi posisi adat leluhur tersebut di kampung Bena. Biasanya satu cluster batu adalah untuk satu klan/suku. Dalam deretan kubur batu ada yang bentuknya seperti meja, itu khusus untuk pendiri klan/suku atau orang pertama yang mempuyai nama suku/klan itu. Kemudian di sebelah kiri ada dua jenis bangunan beratapkan alang-alang atau daun rumbia. Yang depan bernama Bagha, simbol (rumah) untuk leluhur perempuan. Sedangkan yang belakang benama Ngadhu, simbol (rumah) untuk leluhur laki-laki. Kedua bangunan itu kosong, tidak ada isinya. Tapi pada saat upacara adat, kedua bangunan itu berisi penuh sesajen. Khusus untuk Ngadhu, tiangnya bernama Kayu/Tiang Pemali. Hanya kasta pertama yang boleh mengikat kerbau di kayu Pemali. Di sana saya menjumpai beberapa ibu-ibu yang sedang menenun kain. Kain tenun khas Bena warnanya lebih mencolok. Pada jaman dahulu benang yang dibuat kain tenun, mereka dapatkan dari akar pohon yang diberi pewarna alam. Tapi sekarang, karena perkembangan jaman, benang yang akan dibuat kain tenun mereka dapatkan dari toko yang ada di pasar setempat.
Hari menjelang siang, dan kami pun memutuskan untuk berangkat menuju Maumere. Selama perjalanan kami mengalami sedikit kendala, karena hujan dan kabut yang sangat tebal. Dengan sedikit kehati-hatian kami teruskan perjalanan dan akhirnya sampai di Maumere.
bagus bgtz yak pemandangan di labuabajo...
ReplyDelete